Zat asal batubara, telah diketahui berupa materi tetumbuhan yang
dahulunya pernah hidup subur di permukaan bumi. Tanpa memandang jenis
batubaranya, semuanya merupakan mineral organik dan semuanya berasal dari
sisa-sisa tetumbuhan berbagai jenis yang dahulunya hidup subur di permukaan
bumi. Tetumbuhan purba ini, masa hidup dan jenisnya juga berbeda sesuai dengan
umur geologi dan daerah keterdapatannya. Selain itu, kondisi lingkungan tempat
sisa tetumbuhan tadi tersedimentasi, ditambah adanya pengaruh tekanan dan panas
bumi yang terjadi setelah itu, serta pergerakan struktur kerak bumi, semuanya
berpengaruh terhadap proses pembentukan berbagai jenis batubara. Dengan
demikian, maka adalah suatu hal yang wajar apabila kualitas dan karakteristik
batubara mungkin berbeda antara satu “lapangan batubara” (coal field) dengan ladang lainnya. Pada lapisan yang sama
sekalipun, kualitas dan karakteristiknya dapat berbeda tergantung lokasi
sebaran horisontal dari lapisan tersebut, letak batubara itu sendiri, apakah
ada dibagian atas atau bawah lapisan, dan juga kedalaman tempat lapisan itu
berada. Secara ekstrim, barangkali dapat dikatakan bahwa satu bongkahan kecil
batubara tidak akan ada yang sama persis kualitasnya dengan satu bongkahan
kecil lainnya. Dengan alasan itulah maka satu bongkahan batubara tidak bisa
mewakili keseluruhan batubara yang ada di suatu tambang dari segi kualitas dan
karakateristiknya. Adanya hal semacam ini membuat upaya pembakuan
(standarisasi) batubara sebagai satu komoditas dagang menjadi suatu hal yang
tidak mudah.
Proses perubahan yang terjadi terhadap sisa-sisa
tetumbuhan, secara umum dapat dibagi menjadi proses pembusukan dan proses
pembatubaraan. Pada proses pembususkan, sisa-sisa tetumbuhan tadi berada pada
lingkungan dimana terdapat air dan oksigen dari udara bebas yang cukup,
sehingga bakteri pembusuk akan bekerja untuk menguraikan sisa-sisa tetumbuhan tadi.
Setelah melewati suatu waktu tertentu, sisa-sisa tetumbuhan ini berubah menjadi
gas (CO2, metan, dan lain-lain) dan air. Selain kandungan abu dalam
jumlah yang kecil, tidak dijumpai lagi sisa-sisa berupa padatan.
Di sisi lain, pada proses pembatubaraan (coalification), sisa-sisa tetumbuhan
berada pada lingkungan .yang hampir tidak tersentuh oleh udara, ditunjang oleh
pengaruh bakteri pembusuk yang sangat kecil sehingga setelah melewati masa
geologi yang panjang, barulah sisa-sisa tetumbuhan tadi perlahan terurai dan
berubah menjadi zat yang kaya akan kandungan karbon.
Sebagai contoh, misalkan saja di suatu daerah rawa atau
di tepi pantai terdapat tetumbuhan yang tumbuh subur. Saat tetumbuhan tersebut
layu, mengering dan mati, maka sebagian atau keseluruhan pohon akan jatuh ke
dalam air dan terendam. Setelah itu, proses ini terjadi berulang-ulang dengan
adanya tumbuhan lain yang hidup, tumbuh, lalu mati. Proses yang berulang serta
adanya jumlah tetumbuhan yang sangat banyak, akan menyebabkan timbunan sisa
tetumbuhan menjadi semakin tebal. Penambahan timbunan sisa tetumbuhan, tidak
hanya dari tumbuhan yang kering yang mati saja. Bisa saja terjadi, misalnya
timbul tanah longsor yang menyebabkan tetumbuhan di sekitarnya banyak yang
tumbang, atau adanya banjir besar yang membawa sisa-sisa tumbuhan dari tempat
lain, sehingga kemudian terkumpul di daerah tersebut.
Selain itu, naik-turunnya lapisan
tanah atau pergeseran maju-mundurnya garis pantai akan menyebabkan perubahan
pada tingkat ketinggian air, dan ini kemudian diikuti dengan terbawanya batuan
atau pasir laut bersama aliran air sehingga akhirnya menutupi lapisan endapan
sisa-sisa tetumbuhan tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, dimana
sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan yang tidak bersentuhan dengan udara
bebas, maka yang mengalami perubahan adalah unsur-unsur yang ada pada
tetumbuhan asal, seperti oksigen, hidrogen, karbon, dan lain-lain.
Pertama-tama, oksigen dan hidrogen
berikatan menjadi air, oksigen dan karbon berikatan membentuk gas karbon dioksida
dan lain–lain. Akibatnya, lama-kelamaan kandungan oksigen berkurang yang
diikuti dengan ikatan antara hidrogen dan karbon membentuk gas metan dan gas
hidrokarbon lainnya.
Selama proses pembatubaraan, dan
bersamaan dengan berjalannya waktu, terjadi proses yang berulang-ulang, baik
itu berupa naik-turunnya lapisan tanah, bertambah banyak atau sedikitnya jumlah
tetumbuhan, pengendapan serpihan batuan dan lain-lain, sehingga lapisan sisa
tetumbuhan tadi dilapisi lagi dengan berbagai lapisan batuan. Bila lapisan sisa
tetumbuhan purba berada di bagian bawah dan mendapat beban dari lapisan-lapisan
batuan yang ada di atasnya, maka efek tekanan dan panas bumi yang diterima oleh
lapisan tetumbuhan purba akan semakin besar. Hal ini di sisi lain juga
mendorong proses pembatubaraan, sehingga meningkatkan kandungan karbon dan
nilai kerapatan (densitas) dari lapisan tersebut. Cepat-lambatnya proses
pembatubaraan tidaklah selalu tergantung kepada seberapa lama tetumbuhan
tersebut telah terkubur, namum lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
geologis seperti pergerakan kerak bumi, pengaruh gunung berapi, dan lain-lain.
Jumlah
tetumbuhan yang diperlukan untuk menjadi batubara, dikatakan sekitar 17–20 kali
jumlah tetumbuhan yang telah berubah menjadi gambut (peat). Tambahan lagi, untuk mendapatkan satu meter lapisan
batubara, dibutuhkan waktu selama beribu-ribu tahun agar memperoleh jumlah
tetumbuhan yang diperlukan. Jadi, untuk menghasilkan lapisan batubara setebal
10 meter, sekurang-kurangnya diperlukan tumpukan endapan tetumbuhan setebal 200
meter, atau bahkan lebih.
Skala pergerakan kerak bumi ternyata
juga tidak kecil, yaitu dengan ditemukannnya lapisan batubara di kedalaman 3000
meter di bawah dasar laut sewaktu melakukan pengeboran untuk survey minyak bumi
di laut Cina Timur.
0 komentar:
Posting Komentar