Proses Pemanfaatan Batubara dan Pokok-pokok Penilaian Kualitas
|
|||
Tingkat Pembakaran (Combustibility)
|
|||
Bila batubara
dimasukkan ke dalam tungku bertemperatur tinggi, maka batubara akan menyala dan
terbakar. Dalam proses itu, akan dilepaskan kalor pembakaran. Boiler merupakan
suatu alat yang berfungsi untuk menyerap kalor pembakaran dan mengubah air
menjadi uap air yang memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi. Karena itu,
batubara di dalam tungku idealnya harus dapat terbakar habis. Persentase batubara
yang dapat terbakar di dalam tungku disebut dengan rasio dapat-terbakar (combustible ratio), sedangkan
persentase yang tertinggal disebut rasio tak-terbakar (incombustible ratio). Zat yang tak terbakar umumnya berupa
kandungan abu dalam batubara, serta zat tak terbakar lain dengan kandungan
utama berupa karbon. Bagian tak terbakar dalam kandungan abu disebut dengan incombustible ash.
Faktor Dampak Lingkungan
|
Di dalam
batubara, terdapat kandungan nitrogen dan belerang yang akan teroksidasi menjadi
oksida nitrogen (NOx) dan belerang dioksida (SO2) akibat proses
pembakaran. Gas-gas ini akan terlepas keluar dari dalam tungku pembakaran ke
udara bebas, dan dianggap sebagai penyebab terjadinya kabut-asap fotokimia (photocemical smog) dan hujan asam (acid rain). Karena itu, jumlah
pelepasan yang diperbolehkan diatur dalam peraturan perundangan yang berskala
nasional, perfektur, kota, atau bahkan pedesaan, tergantung kepada kondisinya
(=di Jepang). Selain itu, abu maupun kandungan tak terbakar berupa debu arang
yang dilepas dari tungku juga diatur dengan cara yang sama. Dengan adanya hal
ini, dan sebagai upaya untuk memenuhi aturan hukum, sebagian besar boiler
dilengkapi dengan alat pengolah gas buangan untuk menangani NOx, SOx, dan debu
arang yang timbul. Akan tetapi, seberapa pun bagusnya alat pengolah gas buangan
yang ada, pasti tak akan bisa menekan/menghilangkan semua polutan. Karena itu,
faktor kualitas batubara tetap ikut menentukan.
Pelekatan Abu
|
Abu di dalam batubara, terdiri dari mineral-mineral
dengan unsur utama berupa silika atau aluminium. Bila dipanaskan dalam
temperatur tinggi, abu ini akan meleleh. Biasanya, temperatur leleh abu
berkisar antara 1100~1500°C, dan berpengaruh sangat besar terhadap kualitas
batubara. Untuk tungku yang menggunakan serbuk halus batubara sebagai bahan
bakarnya, temperatur gas pembakaran dapat mencapai 1600°C. Karena itu, bila
batubara yang digunakan memiliki titik leleh abu yang rendah, maka abu akan
meleleh di dalam tungku dan melekat di daerah sekitar burner atau pada pipa
penghantar panas yang sebenarnya berfungsi untuk menyerap panas di dalam
tungku. Fenomena ini disebut juga dengan slagging.
Adanya lekatan abu, tentu akan mengganggu kestabilan pengoperasian peralatan.
Agar pengoperasian tungku dapat dilakukan dengan stabil, dan panas yang
dihasilkan tungku dapat diserap secara efektif, maka harus diupayakan agar abu
yang melekat hanya sedikit.
Pengumpulan Debu secara Elektrik
|
Bila abu
dengan kandungan zat tak-terbakar dilepaskan dari tungku begitu saja, besar
kemungkinan akan tersandung oleh peraturan yang mengatur konsentrasi pelepasan
debu maksimum. Karena itu, debu-arang yang timbul harus diambil terlebih dahulu
sebelum dilepaskan, agar tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Secara umum, peralatan
pengambil debu dapat dibagi menjadi Bag
Filter yang menggunakan kain penyaring (filter
cloth), dan Electric Dust-Collector
yang bekerja dengan memberikan muatan listrik kepada partikel abu. Pada sistem electric dust-collector, kemampuan
partikel untuk menerima muatan listrik sangat menentukan efisiensi pengumpulan
debu. Kemampuan partikel untuk menerima muatan listrik, ditentukan oleh
perbandingan senyawa yang ada di dalam abu. Karena itu, kemudahan pengumpulan
abu untuk tiap batubara akan berbeda.
|
Penanganan Abu
|
Di Jepang,
abu yang timbul sebagai akibat proses pemanfaatan batubara ditangani dengan
cara ditimbun atau dimanfaatkan kembali secara efektif sebagai bahan baku
semen, material bangunan, atau material konstruksi sipil. Karena biaya yang
dikeluarkan untuk menangani abu juga tidak sedikit, maka kandungan abu di dalam
batubara merupakan faktor penting yang menentukan besar-kecilnya biaya operasi.
Selain itu, karena pemanfaatan abu juga bergantung kepada ukuran butir abu,
komposisi abu, dan jumlah kandungan zat tak-terbakar dari abu, maka faktor
kualitas batubara kembali menjadi sangat penting. Untuk menimbun abu, terdapat
peraturan menyangkut nilai batas kandungan logam mikro seperti timbal, air
raksa (merkuri), krom 6+ dan sebagainya, sehingga hal-hal tersebut
menjadi pokok penilaian yang penting.
Handling
|
Ukuran butir maksimum untuk batubara
boiler yang dipakai pada pembangkit listrik di Jepang, biasanya bernilai 50 mm
atau kurang, dengan kandungan butir halus di pelabuhan bongkar tak lebih dari
30%.
Permasalahan
handling berupa penyumbatan yang sering dihadapi di coal bunker, coal feeder
dan sebagainya, terutama diakibatkan oleh kandungan air ikat (moisture) dan ukuran butir. Selain itu,
hal tersebut juga akan mengakibatkan penurunan performa dari mesin penggerus (mill).
Secara umum,
kandungan air ikat adalah sekitar 7-10%, dan semakin kecil ukuran butirnya akan
semakin mudah menyebabkan penyumbatan. Sebaliknya, bila kandungan air ikat ini
sangat besar, justru akan menyebabkan terjadinya aliran atau bahkan semburan.
Bila kandungan air ikat sedikit, debu (partikel halus) batubara akan
beterbangan. Karena itu, walaupun dalam kontrak jual beli dicantumkan nilai
kandungan air, biasanya orang akan lebih suka kandungan air yang lebih besar
daripada yang kurang, dengan tujuan untuk menghindari hamburan debu batubara.
Adakalanya kelebihan kandungan air ini diatur dan disesuaikan sedemikian rupa
melalui perhitungan.
Ukuran butir
maksimum untuk batubara kokas adalah 50 mm (2 inch) atau 38 mm (1,5 inch).
Selama tidak ada masalah dari segi handling, persentase kandungan butir halus
biasanya tidak diatur secara ketat.
Proses Pemanfaatan
|
Besar-kecilnya
faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, seperti tingkat pembakaran (combustibility), masalah lingkungan,
melekatnya abu dan lain-lain, masih tergantung pula kepada proses pembakaran
yang digunakan. Di Jepang, boiler untuk pembakaran dapat dibagi menjadi 3 tipe,
yaitu: boiler pembakaran batubara halus (pulverized
fuel burning boiler), boiler unggun terfluida (fluidized bed boiler), dan boiler pembakaran Stoker. Dari ketiga
tipe di atas, boiler pembakaran batubara halus adalah yang paling banyak
dipakai. Berikut ini akan dijelaskan sedikit tentang proses yang berlangsung
pada tipe pembakaran batubara halus (pulverized
coal firing) dan tipe pembakaran unggun terfluida (fluidized bed firing).
|
Pulverized Coal Firing
|
Pada boiler
pembakaran batubara halus, batubara terlebih dahulu digerus dengan mill hingga berukuran kurang dari 200µm.
Setelah itu, batubara halus bersama dengan udara dimasukkan ke dalam tungku
melalui burner. Akibat adanya temperatur yang tinggi di dalam tungku, maka
partikel akan panas dan menyala sambil terbang bersama aliran udara ke arah aliran
belakang. Dalam kondisi seperti itu, temperatur gas dapat mencapai 1600°C.
Panas yang terjadi akibat proses pembakaran lalu diserap melalui pipa air (pipa
pendingin) dan juga bagian penghantar panas konveksi dari pipa penghantar panas
yang dipasang di aliran belakang. Untuk NOx, jumlah yang dihasilkan di dalam
tungku dapat dikurangi dengan cara pembakaran 2 tingkat (two-step firing). Setelah itu, NOx dan SOx diproses melalui
fasilitas penanganan asap buangan yang ada di aliran belakang. Untuk
debu-arang, diambil dengan electric dust
collector.
Fluidized Bed Firing |
Pada
pembakaran fluidized bed, biasanya batubara digerus kasar berukuran kurang dari
10mm terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tungku. Di dalam tungku,
terbentuk lapisan (bed) yang tersusun
dari pasir, abu, batu kapur (limestone),
dan sebagainya. Ke dalam lapisan ini batubara bersama udara pembakaran dikirim
masuk dan dibakar. Panas pembakaran lalu diserap oleh pipa penghantar panas
atau oleh bagian penghantar panas konveksi yang dipasang di dalam bed. Keunikan utama dari sistem
pembakaran ini adalah terjadinya proses desulfurisasi di dalam tungku. Proses
desulfurisasi dilakukan dengan memasukkan batu kapur ke dalam tungku, lalu
kandungan S (belerang) diambil dalam bentuk senyawa CaSO4. Temperatur
yang paling sesuai bagi terjadinya reaksi tersebut adalah sekitar 850°C. Karena
itu, temperatur di dalam tungku dijaga agar berada pada suhu tersebut. Selain
itu, karena suhu pembakaran lebih rendah dibandingkan dengan tipe pulverized-coal firing, maka NOx yang
dihasilkan juga relatif lebih sedikit. Untuk menangani debu-arang, biasanya
digunakan bag filter.
Fluidized bed
dapat dibagi menjadi 2 jenis. Yang pertama adalah bubbling-type fluidized bed, dimana kecepatan aliran udara tidak
terlalu tinggi, sedangkan yang kedua adalah circulating
fluidized bed, dimana kecepatan aliran udara cukup tinggi dan partikel
berputar-putar di dalam tungku. Di Jepang, terdapat kurang lebih 70 unit fluidized bed boiler yang beroperasi.
0 komentar:
Posting Komentar